Batak Toba merupakan salah satu sub
suku dari suku Batak yang berdomisili di Provinsi Sumatra Utara.
Masyarakat Batak Toba memiliki berbagai kebudayaan unik, diantaranya; terlihat
dalam sistem sosial mereka yang disebut dengan harajoan. Harajoan
dapat didefiniskan pola kepemimpinan dan sistem kemasyarakatan dalam kebudayaan
masyarakat Batak Toba. Sistem Harajoan berlaku pada dua level organisasi
sosial masyarakat Batak Toba, yaitu suku dan kampung atau Huta. Harajoan
tidak hanya berkaitan dengan pengorganisiran para anggota suku maupun huta,
tetapi juga mengatur mengenai luas teritori dan pola serta otorisasi
kepemimpinan dalam suatu suku dan huta (Vergouwen, 1986).
Ketika beberapa suku telah sepakat
untuk tinggal bersama dalam suatu daerah, maka di daerah tersebut akan
didirikan suatu kampung atau huta. Huta dapat didefinisikan sebagai persekutuan
terkecil masyarakat Batak (Vergouwen, 1986).
Vergouwen melukiskan Huta adalah sebagai berikut:
Wilayah huta adalah suatu lapangan
kecil berbentuk empat persegi dengan halaman bagus, keras dan kosong
ditengahnya–tengahnya. Disatu sisi empat bidang persegi itu berdiri sekelompok
kecil rumah-rumah (ruma) berbaris; masing-masing rumah memiliki pekarangan
dapur sendiri di bagian belakang . Didepan barisan rumah ada lumbung padi
(sopo), dan biasanya ada satu dua kubangan lumpur. Keseluruhannya dikelilingi
pohon bambu yang tinggi; kadang-kadang ada juga sebuah huta dengan parit
mengelilingi. Kita akan jumpai babi menggerus-gerus tanah dibawah kolong rumah,
anjing mengendus-endus disekitar, ayam yang mengais-ngais tanah, dan kucing
yang tidur dibawah sinar matahari. Seorang perempuan duduk menghadapi alat
tenunnya didepan salah satu rumah, sementara seorang gadis muda menumbuk padi
dalam losung, dan beberapa anak bermain-main dibawah rumpun kecil pohon
buah-buahan.
Huta dipimpin oleh seorang Raja
Huta. Biasanya yang dipilih oleh penduduk huta untuk menjadi Raja Huta adalah
pendiri huta yang bersangkutan.
Raja huta menyelesaikan masalah-masalah (kecil)
antar keluarga warga huta, membagi lahan garapan bagi keluarga-keluarga,
menyelenggarakan perkawinan dengan warga dari huta lain, mewakili huta keluar
dsb. Status Raja huta turun-temurun kepada anak sulung. Ia adalah pengayom
adat, hak ulayat (golat) dan pemimpin sekuler (soal-soal duniawi).
Makin lama huta makin dipenuhi oleh
penduduk dari berbagai marga. Akhirnya beberapa penduduk pindah
dan membentuk huta baru. Hasilnya, banyak terbentuk huta di daerah
kebudayaan Batak Toba. Beberapa diantara huta tersebut kemudian membentuk
federasi atau persekutuan guna mewujudkan tujuan bersama diantara mereka.
Persekutuan tersebut dinamakan Horja.
Horja dipimpin oleh seorang Raja
Horja yang dipilih dari para raja huta yang bergabung dalam federasi horja.
Namun pemilihan Raja Horja ini tidaklah melalui voting, melainkan musyawarah
secara terbuka.
Melalui proses pemilihan ataupun spontanitas warga
maka Horja akan menempatkan beberapa raja huta sebagai wakilnya pada dewan
pemerintahan sekuler yang disebut sebagai Bius . Raja huta nantinya menjadi elit politik bius yang
memilih diantara mereka sebagai dewan bius dan duduk didalamnya.
Berikutnya dewan sekuler tersebut
menentukan wakil-wakilnya sebagai pendeta-pendeta yaitu kelompok Parbaringin
dalam bius yang bersangkutan.
Maka dikenal perumpamaan “huta do mula ni horja,
horja mula ni bius” artinya huta membentuk horja, horja membentuk bius.
Menurut Sitor Situmorang,
berdasarkan kelengkapan organisasi aparatnya, bius dapat kita golongkan tiga
jenis:
1. Bius tua/lengkap
Bius seperti ini dapat ditemukan di pantai barat, pantai selatan danau Toba dan di Samosir yang dipandang sebagai asal kebudayaan Toba. Disini ada dewan pemimpin (kolegial) bius yang membawahi beberapa horja sebagai bagian bius yang berwenang mengelola golat (hak ulayat), horja membawahi puluhan huta. Struktur pemerintahan inilah bentuk ideal yang selalu diusahakan diwujudkan menurut model Sianjur Mula-mula. Kondisi disekitar tepi danau memungkinkan untuk itu. Seperti halnya model Sianjur Mula-mula bius tua mempunyai organisasi parbaringin yang sifatnya turun-temurun dan tetap. Parbaringin bertugas mengatur jadwal bercocok tanam, mengatur kegiatan pemeliharaan irigasi (bondar), pemekaran wilayah persawahan baru dll
Bius seperti ini dapat ditemukan di pantai barat, pantai selatan danau Toba dan di Samosir yang dipandang sebagai asal kebudayaan Toba. Disini ada dewan pemimpin (kolegial) bius yang membawahi beberapa horja sebagai bagian bius yang berwenang mengelola golat (hak ulayat), horja membawahi puluhan huta. Struktur pemerintahan inilah bentuk ideal yang selalu diusahakan diwujudkan menurut model Sianjur Mula-mula. Kondisi disekitar tepi danau memungkinkan untuk itu. Seperti halnya model Sianjur Mula-mula bius tua mempunyai organisasi parbaringin yang sifatnya turun-temurun dan tetap. Parbaringin bertugas mengatur jadwal bercocok tanam, mengatur kegiatan pemeliharaan irigasi (bondar), pemekaran wilayah persawahan baru dll
2. Bius sedang berkembang
Perkembangan migrasi dari daerah asal disekitar danau membentuk bius-bius baru ke dataran tinggi selatan danau dan barat (Humbang, Silindung, Pahae). Kepemimpinan bius masih kolegial, tetapi parbaringin tidak selalu ditemukan disini, dan sekiranya ada tidak selengkap di daerah bius tua. Oleh karena itu fungsi pekerjaan parbaringin dalam ritual-ritual dirangkap oleh pemimpin sekuler bius dan tidak bersifat tetap. Sesudah menjalankan ritual tokoh sekuler itu kembali ke status semula, tidak tetap sebagai pendeta. Hal ini wajar terjadi karena areal sawah tidak seluas di bius tua sehingga tidak melahirkan kelas/organisasi pendeta.
Perkembangan migrasi dari daerah asal disekitar danau membentuk bius-bius baru ke dataran tinggi selatan danau dan barat (Humbang, Silindung, Pahae). Kepemimpinan bius masih kolegial, tetapi parbaringin tidak selalu ditemukan disini, dan sekiranya ada tidak selengkap di daerah bius tua. Oleh karena itu fungsi pekerjaan parbaringin dalam ritual-ritual dirangkap oleh pemimpin sekuler bius dan tidak bersifat tetap. Sesudah menjalankan ritual tokoh sekuler itu kembali ke status semula, tidak tetap sebagai pendeta. Hal ini wajar terjadi karena areal sawah tidak seluas di bius tua sehingga tidak melahirkan kelas/organisasi pendeta.
3. Bius kecil/terbelakang
Bius ini dijumpai dipinggiran wilayah Toba. Karena situasi setempat maka aparatnya tidak lengkap karena kepemimpinan kadang kala hanya dijalankan seorang saja/tinggal. Aparat pemerintahannya tidak memadai dan karena areal persawahannya sempit maka tidak memerlukan ritual-ritual pertanian serumit bius tua. Medannya hutan belukar dan berbatasan dengan dunia luar Toba sehingga mengharuskan adanya pemimpin tinggal untuk pengambilan keputusan yang cepat.
Bius ini dijumpai dipinggiran wilayah Toba. Karena situasi setempat maka aparatnya tidak lengkap karena kepemimpinan kadang kala hanya dijalankan seorang saja/tinggal. Aparat pemerintahannya tidak memadai dan karena areal persawahannya sempit maka tidak memerlukan ritual-ritual pertanian serumit bius tua. Medannya hutan belukar dan berbatasan dengan dunia luar Toba sehingga mengharuskan adanya pemimpin tinggal untuk pengambilan keputusan yang cepat.
Setelah pemerintah Belanda berkuasa
di Tapanuli, maka huta, horja dan bius tradisional dirombak. Huta tetap disebut
huta tetapi maknanya sudah lain. Raja huta atau Raja Ihutan (Jaihutan)
tradisional diganti menjadi kepala negeri yang tunduk pada administrasi
kolonial. Beberapa huta kecil digabung dengan seorang kepala yang sering
menimbulkan masalah diantara sesama warga. Istilah bius yang mempunyai makna
politik dilenyapkan dan diganti jadi huta biasa. Belanda menyadari bahwa
disebagian wilayah Toba organisasi bius dan dewan bius adalah perpanjangan
tangan Singamangaraja. Singamangaraja dan organisasi parbaringin terkait erat dengan
bius.(ama ni pardomuan)
Refleksi Demokrasi Indonesia
Demokrasi harajoan ala Batak Toba
merefleksikan betapa kayanya masyarakat nusantara akan nilai-nilai demokrasi
yang muncul sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia Indonesia jauh sebelum
datangnya pengaruh asing di negeri ini. Ilmuwan sosial dari Universitas Leiden,
Belanda, Dr. Johann Angerler, berkesimpulan bahwa masyarakat Batak Toba telah
mengenal demokrasi jauh sebelum datangnya kolonialisme Eropa. Justru
kolonialisme Belanda lah yang telah menghancurkan pranata demokratis dalam
masyarakat Batak Toba seiring dengan penyebaran Zending Kristen yang
memarjinalkan agama Parmalim. Sebelum kedatangan pihak Belanda, upaya
penghancuran budaya demokratis masyarakat Batak Toba juga dilakukan oleh kaum
fundamentalis Paderi dari Minang yang terpengaruh mazhab asing yang berasal
dari Arab Saudi, Wahabi.
Pasca kemerdekaan, tepatnya di era Orde Baru, penghancuran
sistem demokrasi Batak Toba berjalan secara lebih sistematis melalui penerapan
UU Desa tahun 1974.
Sistem harajoan yang merupakan
sistem kemasyarakatan Batak Toba adalah cerminan demokrasi Indonesia atau sosio
demokrasi yang berbasiskan pada musyawarah untuk mufakat. Hal ini membuka mata
kita bahwa bangsa ini memiliki kearifan lokal yang kongruen dengan spirit
demokrasi yang melibatkan orang banyak dalam pengambilan keputusan pada suatu
masyarakat. Namun liberalisasi politik pasca reformasi justru menjerumuskan
bangsa ini pada demokrasi voting khas Barat yang berbasiskan kekuatan pemodal.
Sekiranya kita sebagai bangsa menyadari bila suatu hal yang datang dari luar
belum tentu baik bagi bangsa ini, bahkan mungkin akan membawa bencana.
Jangan sampai kisah “Kuda Troya” terjadi berulang kali pada bangsa dan negara
ini.
Dalam persekutuan Bius tersebut masyarakat Batak mempunyai duo
kepemimpinan atau dwi tunggal dan umumnya tidak mengenal pemimpin
(uluan) tunggal. Pimpinan yang pertama adalah pemimpin sekuler (duniawi)
dan disebut Raja Bius, yang kedua adalah pemimpin rohani yang disebut
Pande Bolon.
Sumber :
http://www.facebook.com/note.php?note_id=70397578046&id=46335083162&index=0