Horas...!!!
Parmalim biasanya tidak akan menjawab tudingan hinaan dari masyarakat dan lembaga agama maupun intelektual yang menuliskan dalam buku sejarah atau sebuah jurnal. Akibatnya, stikma itu makin pekat dan sulit dihapus. Tidak ada kepentingan mereka menjernihkan pendapatnya yang miring terhadap Parmalim karena dilatarbelakangi kepentingan dan kebiasaan membicarakan sesuatu yang tidak jelas bagi dirinya.
Saya akan berbagi apa yang saya ketahui mengenai adat istiadat terutama mengenai UGAMO MALIM atau yang sering disebut PARMALIM.
PARMALIM
Parmalim
sebenarnya adalah identitas pribadi, sementara kelembagaannya disebut
Ugamo Malim. Pada masyarakat kebanyakan, Parmalim sebagai identitas
pribadi itu lebih populer dari “Ugamo Malim” sebagai identitas
lembaganya.
Berjuang
bagi Parmalim bukan hal baru, karena leluhur pendahulunya dari awal
dan akhir hidupnya selalu dalam perjuangan. Perjuangan dimulai sejak
Raja Sisingamangaraja menyatakan “tolak” kolonialisme Belanda yang
dinilai merusak tatanan kehidupan masyarakat adat dan budaya. Masuknya
tatanan baru seiring dengan menyusupnya “kepercayaan baru” yang
meninggalkan “Mulajadi Nabolon”.
Perjuangan
Parmalim tidak berakhir hingga Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Setelah “orang negeri” memegang tampuk kekuasaan tidak otomatis
mendapatkan kemerdekaan bagi “kepercayaan” yang diajarkan
Sisingamangaraja dan pengikutnya. Bahkan hambatan semakin dahsyat, yang
menyakitkan, ini datangnya bukan dari penjajah, tetapi dari warga
negara yang sama-sama bahagia memperoleh kemerdekaan itu. Dalam
pemerintahan, penguasa negeri ini menghambat proses pengakuan terhadap
“AJARAN HAMALIMOM” Sisingamangaraja dan pengikutnya yang melebur dalam
Parmalim. Ini terjadi bertahun-tahun hingga dikeluarkannya
Undang-undang No 23 Tahun 2006. Undang-undang ini memberikan kesempatan
kepada Parmalim untuk dicatatkan sebagai warga Negara melalui kantor
catatan sipil walau tidak diberi kesempatan menuliskan identitas sebagai
Parmalim di Kartu Tanda Penduduk.
Parmalim
juga mengalami hambatan horizontal. Masyarakat khususnya Batak masih
menganggap Parmalim aliran yang sesat. Bahkan lembaga agama lainnya
masih memberikan stigma buruk kepada Parmalim seperti tidak memiliki
peradaban, belum mengenal jalan kebenaran Tuhan dan lain sebagainya.
Banyak generasi muda batak keheranan begitu seorang memperkenalkan diri
sebagai Parmalim. Upaya menyingkirkan dan menindas seperti ini
ditambah lagi dengan pernyataan bahwa Parmalim tidak mengakui adat
Batak.Parmalim biasanya tidak akan menjawab tudingan hinaan dari masyarakat dan lembaga agama maupun intelektual yang menuliskan dalam buku sejarah atau sebuah jurnal. Akibatnya, stikma itu makin pekat dan sulit dihapus. Tidak ada kepentingan mereka menjernihkan pendapatnya yang miring terhadap Parmalim karena dilatarbelakangi kepentingan dan kebiasaan membicarakan sesuatu yang tidak jelas bagi dirinya.