Pohon Beringin melambangkan kemandirian
Selama berabad-abad, sebelum kekristenan
dan Belanda datang ke Tanah Batak, persekutuan tertinggi yang
mencakup persekutuan sekuler dan rohani yang ada dalam masyarakat Batak
adalah persekutuan masyarakat yang bernama Bius.
- Bius adalah kesatuan wilayah dari beberapa Horja.
- Horja adalah gabungan beberapa huta (kampung).
Gambar Rapat Parbaringin di Limbong Samosir
Raja, sang pemimpin sekuler.
Kedudukan dan sikap (attitude) yang juga
dapat dimaknai sebagai konsep kepemimpinan sekuler Batak : Raja Bius,
Raja Horja maupun Raja Huta (yang biasa disebut sebagai Raja-raja
Batak/Toba), dapat dilihat dan
disimak dari kata pengantar uraian hukum yang disunting oleh Panggading,
raja paidua (kedua) yang terkenal dari Sisoding (Simamora). Pengantar
tsb menunjukkan suatu sikap raja Batak yang ideal
dalam konsep kepemimpinan seorang Raja Batak, dan di sini disunting
kembali dari buku JC Vergowen/Prof.DR TO Ihromi: Masyarakat dan Hukum
Adat Batak Toba, hal.147, sbb:
Ditompa Debata jolma mangarajai uhum, ditompa Debata do uhum mangarajai adat,
Ditompa Debata do raja mangarajai luat, asa raja i ma nampuna adat dohot uhum,
Mangarajai angka na metmet dohot na magodang, lahi-lahi dohot boru-boru,
Asa raja i do parhatian si bola timbang, parninggala si bola tali,
Pamuro so marambalang, parmahan so marbatahi,
Mangaramothon saluhut na di gomgomanna.
Sigarar utang, situnggu singir di na balga dohot di na metmet, manguhumi siuhumon,
Raja i ma sipungka solup, sitiop batuan na so ra teleng, hatian so bonaron,
Mula ni hata na sintong, na manogihon halak tu panggagatan na lomak,
Na manarihon hangoluan ni angka ginomgomanna.
Marsoban parsoban pe, parsoban ni raja. Mandurung pandurung, pandurung ni raja,
Maronan paronan, paronan ni raja. Mangula pangula, pangula ni raja.
Saluhutna i pandapotan tu raja, asa ndang tinanda hau so ingkon sian parbuena,
Ndang tinanda raja na malo, so ingkon sian pambahenanna,
Timbo buluna, balga hutana, gabe parripena maduma dohot ibana,
Sinur pinahanna, gabe niulana,
Borngin
dohot arian ndang nok matana, manarihon uhum dohot adat di angka
gomgomanna, pasari-sari panganonna asa adong hangoluanna.
Uraian yang puitis tsb di atas (lihat juga tulisan Raja-raja Toba
di Suara HKBP edisi Desember 2006) memperlihatkan bagaimana indahnya
bunyi dan isi dari konsep kepemimpinan Batak termaksud. Terungkap juga
dengan sangat jelas betapa besar kewajiban dan tanggungjawab seorang
Raja terhadap rakyatnya. Tanggungjawab yang besar membuat sang Raja
selalu memikirkan kesejahteraan rakyatnya dan karenanya dia bisa sampai tidak tidur. Dia adalah seorang yang adil dan bijaksana, dan dalam memimpin dia tidak boleh menggunakan kekerasan. Karena itu seorang Raja juga
akan selalu berusaha mengelak untuk memaksakan kehendaknya dengan
mengatakan: sebagai Raja (atau sebagai Uluan) saya memutuskan atau
memerintahkan begini dan begitu, tetapi dia harus bisa mempergunakan
kemampuan dan kekuasaan yang ada di tangannya dengan keteladanan dan daya persuasi yang tinggi sehingga dia dipatuhi. Rakyatnya yang terdiri dari pencari kayu api, nelayan, pedagang dan petani akan menurut dan meneladaninya karena dia menunjukkan kepemimpinannya dengan perbuatan-perbuatan yang baik, bukan sekedar kata-kata. Dengan meneladani Raja, rakyatpun juga harus bersikap raja (tekanan
di suku akhir) dalam arti bersikap seperti seorang Raja, dalam setiap
pekerjaan dan fungsi masing-masing di dalam masyarakat.
Parbaringin, sang pemimpin rohani.
Seperti telah diutarakan di atas, di setiap
Bius, seorang Raja selalu didampingi oleh sebuah lembaga Parbaringin
yang diketuai oleh seorang Parbaringin atau Pendeta Utama yang bergelar Pande Bolon,
dengan anggota-anggotanya para Parbaringin yang masing-masing mewakili
setiap Horja anggota Bius. Mereka berasal dari marga tanah Horja dan
menjabat sebagai Parbaringin untuk seumur hidup. Peri hal ke-parbaringin-an ini kita
mendapat banyak informasi yang berharga dari Vergowen (dalam bukunya
tsb di atas), Sitor Situmorang (dalam bukunya Toba Na Sae) dan
DR.Ir.Bisuk Siahaan (dalam bukunya Kehidupan Di Balik Tembok Bambu).
Sebagai seorang manusia biasa, dalam posisi kependetaannya mereka juga memerlukan nafkah untuk penghidupannya
di dunia ini. Untuk itu mereka mendapat sebidang tanah pertanian dan
juga bagian dari iuran yang dibayar oleh semua Horja untuk
upacara-upacara pemujaan/keagamaan. Semua Parbaringin bekerja atau
melayani secara permanen di Horja pusat (yang berfungsi sebagai Bius),
dan mereka diwajibkan bekerja untuk keseluruhan masyarakat Bius dan
bukan hanya untuk lingkungan marga atau horjanya.
Parbaringin yang berstatus dan berfungsi
sebagai Pendeta agama Batak, memimpin semua upacara-upacara agama Batak
yang sangat banyak sepanjang tahun (terutama upacara-upacara yang
berkaitan dengan kegiatan pertanian). Agama Batak berpusat
kepada Mulajadi na Bolon, Si Boru Deak Parujar, Raja Uti dan
Sisingamangaraja. Umumnya Parbaringin juga merangkap sebagai ahli
pertanian (dan menetapkan jenis padi dan waktu bertanamnya), ahli
tehnik, pengairan dan pembagian tanah golat (ulayat).
Para Pendeta agama Batak tsb menyandang
gelar Parbaringin karena mereka selalu meyematkan ranting beringin di
rambutnya (manjujung baringinna) untuk menunjukkan kemandirian mereka di
tengah-tengah semua marga, huta dan horja di biusnya. Dengan perkataan
lain, para Parbaringin harus melepaskan semua ikatan kemargaan dengan marga asalnya,
dan dengan demikian mereka harus melepaskan diri dari semua persaingan
dan pertikaian antar marga yang mungkin terjadi di Biusnya. Demikianlah
mereka dihindarkan dari kemungkinan keterlibatan dalam apa yang sekarang kita sebut KKN.
Sisingamangaraja, Sang Dewa Raja dalam fungsinya sebagai atasan semua Parbaringin memberikan sebuah ajaran kepada para Parbaringin sbb:
Kamu
dilarang meminjamkan uang, juga jangan menghutang, supaya sawah
jabatanmu jangan ditimpa bencana. Kamu pantang meminjamkan uang, juga
pantang menghutang, supaya kamu terhindar dari perselisihan. Kamu
dilarang berzina, karena kamu adalah hakim. Sama sekali kamu tidak boleh
memasung orang, terlibat dalam perampokan, pantang ikut dalam
permusuhan, sekalipun diantara pihak-pihak yang bermusuhan saudaramu
sendiri terlibat. Kuajarkan padamu: jadilah penyelamat apa saja yang terperangkap bubu, pembebas bagi mereka yang terjerat jatuh di liang.
Ajaran tsb di atas menegaskan kewajiban
para Parbaringin untuk selalu bersikap netral dan adil dalam setiap
permasalahan yang timbul di masyarakat bius. Mereka juga harus menjadi
penyelamat bagi orang-orang yang ditimpa bencana dan yang mengalami
ketidak-adilan.
Para Parbaringin juga harus selalu mematuhi
aturan- aturan untuk mereka, antara lain:
- tidak boleh memakan sembarang makanan,
- tidak boleh memotong rambut namun harus selalu berpenampilan baik,
- tidak boleh memotong rambut orang lain, harus memakai pakaian yang sudah ditentukan,
- tidak boleh melakukakn pekerjaan kotor dan tidak pantas untuk jabatannya seperti mengumpulkan sampah, menyapu, membakar lalang, menyiangi rumput, bertukang, memikul mayat.
- Mereka juga tidak boleh berdusta, bersumpah, mengambil milik dan merugikan orang lain, dan harus berbicara seperlunya saja dan setiap kata yang diucapkannya haruslah bermakna.
Karena jabatannya mereka mendapat beberapa keistimewaan sbb:
- Harta Parbaringin tidak boleh dicuri, karena itu sama denga mencuri barang sombaon (hantu leluhur yang disembah).
- Parbaringin tidak boleh diminta bersumpah.
- Kalau Parbaringin duduk bersila, tidak boleh ada orang berdiri di garis pandangnya.
- Setiap orang yang berpayung harus menutupkannya sampai Parbaringin melewatinya.
- Orang yang menunggang kuda harus turun kalau bertemu dengan Parbaringin.
- Tidak boleh mendahului Parbaringin kecuali disilahkannya.
- Memberikan sesuatu kepada Parbaringin harus dengan tangan kanan, dan kalau terpaksa dengan tangan kiri, harus menyebut: siamun ale ompung (ini tangan kanan ompung).
Dari keistimewaan-keistimewaan yang melekat pada posisi Parbaringin tsb di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang Pendeta dalam masyarakat Batak dahulu benar-benar sangat dihormati dan dipandang hampir suci. Dan sesuai fungsi dan tugas-tugasnya, dalam kehidupan sehari-hari seorang Pendeta adalah teladan bagi orang Batak dalam banyak hal seperti berikut:
- Mardebata (Bertuhan)
- Martutur (Berkerabat)
- Marpatik (Beraturan atau melaksanakan aturan)
- Maruhum (Melaksanakan dan tunduk kepada hukum)
- Maradat/marraja (Berpemerintahan: patuh kepada adat, raja dan pemerintah)
Uraian fungsi dan tanggungjawab
dwi-tunggal Raja dan Parbaringin di atas menunjukkan bahwa memimpin
orang-orang Batak yang berkecenderungan mandiri itu mungkin memang
sulit, tetapi bukan suatu hal yang tidak mungkin. Dalam hal ini yang harus dilakukan oleh para
pemimpin sekuler dan pemimpin rohani (pendeta) mereka adalah bekerja dengan keras untuk kesejahteraan rakyatnya dan hidup dengan jujur. Demikianlah para pemimpin itu menjadi teladan yang pantas dipanuti karena mereka selalu melakukan apa yang mereka katakan, they mean what they say.
Konsep keteladanan pemimpin Batak di atas
adalah sebuah konsep yang dijiwai oleh agama Batak. Konsep itu pastilah
suatu idealisasi, yang mungkin
sangat sukar dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun fenomena
bahwa sebuah agama yang kita anggap kafir (sipele begu/parbegu) saja seperti agama Batak bisa melahirkan
suatu konsep yang indah seperti itu, membuat kita berpikir bahwa adalah
sangat pantas untuk mengharapkan bahwa penerapan keteladanan oleh para
pemimpin Batak Kristen, sekuler
maupun rohani, akan jauh lebih baik dan lebih benar. Kita dapat
meyakini hal ini karena kepada para pemimpin jemaat-jemaat Kristen
pertama di Asia Kecil, Petrus juga mengatakan sbb:
1 Petrus 5:2-3:
Gembalakanlah
kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan
sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari
keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri.
Janganlah
kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang
dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi
kawanan domba itu.
Budaya bangsa Indonesia adalah budaya
yang terdiri dari puncak-puncak budaya semua suku bangsa yang ada di
Indonesia. Keteladanan pemimpin duniawi maupun rohani tsb di atas adalah
salah satu produk puncak budaya Batak. Seyogianyalah produk puncak tsb
mendapat kesinambungan dalam kiprah orang-orang Batak Kristen dalam
kehidupannya di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia di masa-masa
yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar